Lagi. Aku disini. Kembali di kota dingin yang hebuskan sejuta perih dari masa kecil hingga namamu yang terus kupanggil.
Kenapa setelah kisah yang dihentikan perpisahan malah aku sering dibuatNya kembali ke kota ini dengan berbagai urusan? Menghadapi segala kehilangan dan ironis-ironisnya segala cerita yang justru mati-matian kuhindari.
Mungkin Gema tidak pernah tahu seberapa gersang hati yang dulu pernah dia hujani dengan pelukkan. Seberapa kering nafas yang dulu pernah dia taklukkan dengan senyuman. Semua, sebenarnya jauh lebih kompleks dari sekedar kata sedih. Penjabaran yang lebih dari sekedar deskripsi. Tapi Gema, tidak pernah mau tahu.
Pernah aku membaca suatu kisah, yang membuatku teringat tentang kita.
****
The Little Prince
"Kemari, bermainlah denganku," kata pangeran kecil. "Aku sangat sedih."
"Kemari, bermainlah denganku," kata pangeran kecil. "Aku sangat sedih."
"Aku tidak bisa bermain denganmu," kata rubah. "Aku belum dijinakkan."
"Ah! Maafkan aku," kata pangeran kecil. Tetapi setelah berpikir beberapa saat, dia menambahkan: "Apa artinya itu— 'menjinakkan'?"
"Itu adalah tindakan yang sering diabaikan," kata rubah, "Menjinakkan artinya menjalin ikatan."
"Menjalin ikatan?"
"Begitulah," kata rubah. "Bagiku, kamu saat ini tidak lebih dari seorang bocah kecil yang sama saja dengan ribuan bocah kecil lainnya. Aku tidak membutuhkanmu. Kamu sendiri tidak membutuhkan aku. Bagimu, aku tidak lebih dari seekor rubah seperti ratusan ribu rubah lainnya. Tapi jika kamu menjinakkan aku, kita akan saling membutuhkan. Bagiku, kamu akan menjadi satu-satunya di dunia. Bagimu, aku akan menjadi satu-satunya di dunia..."
"Hidupku sangat membosankan," kata rubah. "Aku berburu ayam; manusia memburuku. Semua ayam sama saja, dan semua manusia asma saja. Dan, akibatnya, aku jadi agak bosan. Tapi jika kamu menjinakkan aku, akan terasa seolah matahari menyinari hidupku. Aku akan mengenali suara langkah yang terdengar berbeda dari semua langkah lain. Langkah-langkah lain akan mendorongku bergegas kembali ke bawah tanah. Tapi langkahmu akan memanggilku, seperti musik, keluar dari persembunyianku. Dan coba lihat: Kamu lihat ladang gandum jauh di sana? Aku tidak makan roti. Gandum tidak ada manfaatnya bagiku. Ladang gandung tidak punya arti apa-apa bagiku. Dan itu menyedihkan. Tapi rambutmu berwarna emas. Pikirkan betapa indah jadinya nanti jika kamu telah menjinakkan aku! Butir-butir gandum, yang juga berwarna keemasan, akan membuatku ingat kepadamu. Dan aku akan senang sekali mendengarkan suara angin yang meniup butir-butir gandum ..."
Lama, rubah itu menatap sang pangeran kecil.
"Tolong— jinakkan aku!" katanya.
"Aku ingin, ingin sekali," sahut pangeran kecil. "Tapi aku tidak punya banyak waktu. Ada banyak teman yang harus kucari, dan banyak hal yang harus kumengerti."
"Orang hanya bisa mengerti hal-hal yang dijinakkannya," kata rubah. "Manusia tidak punya waktu lagi untuk mengerti apa pun. Mereka membeli barang yang telah tersedia di toko. Tapi di mana-mana tidak ada toko yang menjual persahabatan, dan karenanya manusia tidak punya teman lagi. Jika kamu ingin punya teman, jinakkan aku... "
"Apa yang harus kulakukan, untuk menjinakkan kamu?" tanya pangeran kecil.
"Kamu harus sabar sekali," sahut rubah. "Pertama-tama kamu duduk agak jauh dariku—seperti itu—di atas rumput. Aku akan memandangmu dari sudut mataku, dan kamu tidak boleh bilang apa-apa. Kata-kata adalah sumber kesalahpahaman. Tapi kamu akan duduk lebih dekat denganku setiap hari..."
Maka pangeran kecil menjinakkan rubah. Dan ketika waktu perpisahan mereka hampir tiba—
"Ah," kata rubah, "Aku akan menangis."
"Itu salahmu sendiri," kata pangeran kecil. "Aku tidak pernah berkeinginan mencelakaimu sama sekali; tapi kamu ingin aku menjinakkan kamu ... "
"Ya, memang begitu," kata rubah.
"Tapi sekarang kamu akan menangis!" kata pangeran kecil.
"Ya memang begitu," kata rubah.
"Jadi itu tidak mendatangkan kebaikan bagimu sama sekali."
"Itu baik untukku," kata rubah, "karena warna ladang gandum itu."
"Itu baik untukku," kata rubah, "karena warna ladang gandum itu."
Lalu dia menambahkan:
"Pergi dan lihatlah lagi bunga-bunga mawar itu. Kamu akan mengerti sekarang bahwa bungamu adalah satu-satunya di seluruh dunia. Lalu kembalilah dan ucapkan selamat tinggal padaku, dan aku akan memberimu hadiah berupa sebuah rahasia."
Pangeran kecil pergi, untuk melihat kembali bunga-bunga mawarnya.
"Pergi dan lihatlah lagi bunga-bunga mawar itu. Kamu akan mengerti sekarang bahwa bungamu adalah satu-satunya di seluruh dunia. Lalu kembalilah dan ucapkan selamat tinggal padaku, dan aku akan memberimu hadiah berupa sebuah rahasia."
Pangeran kecil pergi, untuk melihat kembali bunga-bunga mawarnya.
"Kamu sama sekali tidak seperti bunga mawar milikku," katanya pada bunga-bunga. "Jadi kamu tidak ada artinya. Tidak ada yang menjinakkan kamu, dan kamu tidak menjinakkan siapa-siapa. Kamu seperti rubahku ketika pertama kali aku mengenalnya. Dia hanya seekor rubah seperti seratus ribu rubah lainnya. Tapi aku telah menjadikannya temanku, dan kini dia menjadi satu-satunya di seluruh dunia."
Dan mawar-mawar itu sangat malu.
Dan mawar-mawar itu sangat malu.
"Kamu cantik, tapi hampa," lanjutnya. "Tidak ada yang bersedia mati demi kamu. Tentu, orang yang lewat akan mengira bahwa bunga mawarku tampak persis seperti kamu—mawar yang kumiliki. Tapi hanya dialah yang lebih penting daripada ratusan ribu mawar lain: sebab dialah yang kulindungi di balik tabir; karena demi dialah aku membunuh beberapa ulat (kecuali dua atau tiga di antara mereka yang kami selamatkan agar menjadi kupu-kupu); karena dialah aku mau mendengarkan, ketika dia mengomel, atau membual, atau bahkan kadang-kadang ketika dia tidak bilang apa-apa. Karena dia adalah mawarku."
Dan dia kembali untuk menemui rubah.
"Selamat tinggal," katanya.
"Selamat jalan," kata rubah. "Dan sekarang inilah rahasiaku, rahasia yang sangat sederhana: Hanya dengan hatilah orang bisa melihat dengan benar; hal apa yang terpenting itu tidak dapat dilihat dengan mata."
"Apakah yang terpenting yang tidak dapat dilihat dengan mata?" ulang pangeran kecil supaya dia yakin akan bisa mengingatkannya.
"Waktu yang telah kamu habiskan untuk mawarmu itulah yang membuat mawarmu begitu penting."
"Waktu yang telah aku habiskan untuk mawarku—" kata pangeran kecil, supaya dia yakin akan bisa mengingatnya.
"Manusia telah melupakan kebenaran ini," kata rubah. "Tapi kamu tidak boleh melupakannya. Kamu bertanggung jawab, selamanya, terhadap apa yang telah kamu jinakkan. Kamu bertanggung jawab terhadap mawarmu..."
******
"...tapi hanya dialah yang lebih penting daripada ratusan ribu mawar lain: sebab dialah yang kulindungi di balik tabir; karena demi dialah aku membunuh beberapa ulat (kecuali dua atau tiga di antara mereka yang kami selamatkan agar menjadi kupu-kupu)..."
Kau, Gema. Kau satu yang kutemukan, sesiapa yang ditarik semesta untukku diantara jutaan warna.
Kau yang segenap tenaga kujaga, agar kau disana tak terluka barang sedikit saja apalagi sengaja.
"..karena dialah aku mau mendengarkan, ketika dia mengomel, atau membual, atau bahkan kadang-kadang ketika dia tidak bilang apa-apa. Karena dia adalah mawarku..."
Waktu, Gema. Waktu dan rasa syukur yang membuatku mencinta kamu, dari segenap indah juga perihmu.
"..waktu yang telah kamu habiskan untuk mawarmu itulah yang membuat mawarmu begitu penting.."
Waktu kebersamaan yang menurutmu tak ada artinya, waktu yang menurutmu belum cukup lama untuk saling mengenal, tapi cukup untuk meyakinkan aku bahwa sayang itu kau.
"...dan sekarang inilah rahasiaku, rahasia yang sangat sederhana: Hanya dengan hatilah orang bisa melihat dengan benar; hal apa yang terpenting itu tidak dapat dilihat dengan mata..."
Rabalah hatimu, Gema. Kurelakan ia jika menjawab sayang dan cintamu itu bukan aku. Tapi sedikit saja. Akui aku, sadari hadirku. Bahwa pernah ada disini yang mencintamu dengan segenap sendu.
....yang belajar dengan seluruh haru tentang jalannya waktu yang menyeret kita satu....
...salam sayang dariku, pangeranku... mawarmu yang telah kau jinakkan...
"...kamu bertanggung jawab, selamanya, terhadap apa yang telah kamu jinakkan. Kamu bertanggung jawab terhadap mawarmu..."
0 comments:
Post a Comment