Confession of Emptiness

Author: Rizka Sonnia Haliman /

This is my hand
It's cold by the rain on the yellow skies
This is my eyes
Never seen the border of this world

Now it`s not my illusions
No I can`t see all my pain
Where were my tears go

This is my hands
It's cold by the rain on the yellow skies
This is my eyes
Never seen the border of this world

May let the sun goes undone
The light will blinded my cries
Confession of emptiness

So why should I release my happiness
So why should I release my emptiness

For you..


(Homogenic - Confession of Emptiness)



Berusaha menulis di sela penyakit flu yang sedang mendera. Oh, mungkin lebih tepatnya berusaha menulis di sela kekosongan jiwa yang semakin dirasa dengan segala petrichor dan suara hujan.


Aku tahu. Apa yang dimaksud lagu ini. Tapi tak lagi ada penjabaran.


Kembalikan sudut pandangku.


Kau yang bawa pergi hidup yang seharusnya di tempatnya.


Aku harus apa? Untuk kembali merasa?


Tawa yang hampa tak bernyawa.


Hati yang tak lagi bergetar, menggeliat saat disentuh cinta.


Lalu aku harus apa?

Labyrinth

Author: Rizka Sonnia Haliman /

Berbulan-bulan aku aman dari masalah. Bergelung manja dalam selimut di istanaku berukuran 4 x 4.5 meter, bersembunyi dari dunia yang seharusnya ditantang. Meminimalisasi gesekan model apapun yang ada pada peradaban luar termasuk segala kontak pada orang sekitar. Berbicara seperlunya, bersosialisasi jika ada butuhnya. Sekenanya saja.


Aku menikmati hidupku yang tanpa masalah. Melepas semuanya dengan cara melemparkannya di sudut ruangan lalu berhenti untuk mau tahu. Aku menjalani semua yang seharusnya berjalan, tanpa ada yang tak semestinya. Tapi mungkin, justru itu masalahnya.

Masalahnya adalah: semua tanpa masalah. Cukup membosankan saat ini terjadi. Setelah klimaks cerita yang melelahkan, aku beristirahat tapi kemungkinan terlalu lama sampai tak tahu bagaimana harus keluar. Pernah sesekali mencoba membuat konflik sendiri, tapi yang terjadi malah diluar kontrol. Ketakutan, kulemparkan semua lagi tanpa mau tahu dan aku memutuskan untuk tidak lagi bermain api. Menolak bertanggung jawab.

Terus-terusan menetap dalam zona aman, membuatku rapuh. Berkeping, pucat dan goncang begitu terkena hantaman. Meski sebelum aku bersembunyi kondisiku sudah retak. Retak yang rawan, seperti vas yang pernah pecah berhamburan lalu kurekatkan secara asal-asalan.

Atau seperti mawar? Kemarau atau tak tentunya hujan membuat kelopaknya hilang kekuatan. Tersentuh, lalu menjadi kepingan.



Mungkin memang ini hidup, masalahnya berputar tanpa akhir. Berbahagialah yang menurutnya "life is never flat". Rasakan getaran gelombangnya, mengombak dari atas ke bawah lalu ke atas lagi.

It All Ends

Author: Rizka Sonnia Haliman /




Sudah berminggu-minggu atau mungkin tanpa sadar sudah berbulan-bulan saya menanti dengan cemas kapan Harry Potter and The Deathly Hallows part 2 ini rilis di Indonesia. Selain karena film ini merupakan sekuel terakhir dari ketujuh seri petualangannya dan mungkin ini juga sesi terakhir dimana para Harry Potter mania bakal berkumpul. Seperti sebaris kata dalam poster diatas, It All Ends. Rasa-rasanya seperti datang di last concerts band idolamu. Semacam pesta perpisahan untuk sahabat terbaikmu yang akan pindah secara permanen. Sedih, tapi semua harus diakhiri.


Kemarin sempat beredar desas-desus bahwa ada kemungkinan film ini bakal batal diputar di Indonesia karena permasalahan pajak perfilman yang membuat kita semua terancam hanya menonton part 1-nya saja, mungkin adalah sekelumit berita gembira buat saya diantara hati yang berserakan karena kecewa. Jika memang batal diputar, mau nggak mau saya menonton part 2-nya di DVD. Dan itu artinya saya bisa menunda sampai kapanpun supaya petualangan ini tidak berakhir. Tidak ada farewell party.


Sungguh berat hati untuk untuk pulang seterusnya; kembali ke dunia muggle. Sudah sepuluh tahun sejak pertama kali saya terbengong-bengong, terseret hampir sepenuhnya ke dalam dunia sihir saat nonton Harry Potter and The Chamber of Secret di bioskop. Setelahnya saya memutuskan untuk pergi kesana dan mengenal lebih dekat dunia sihir, juga Harry Potter si anak-yang-bertahan-hidup dengan mengoleksi semua serinya yang saat itu baru sampai seri keempat, Harry Potter and The Goblet of Fire dengan uang jajan sendiri.


Banyak keajaiban yang saya temukan disana. Hanya dengan membuka bukunya saja, otomatis saya langsung ber-apparate ke dunia sihir dan pulang sebagai orang awam begitu bukunya tertutup. Tapi sesungguhnya, mungkin saya takkan pernah menjadi muggle biasa seperti sebelumnya. Besar arti sosok Harry Potter dan teman-temannya, begitu juga sang penulis J.K Rowling dalam hidup saya. Berkat karyanya yang luar biasa, saya menjadi seorang pecinta buku yang addicted akan bacaan dan mungkin dari sini juga yang membangkitkan minat dan ambisi untuk menjadi seorang penulis.


Jutaan orang di dunia telah mencurahkan segala apresiasinya terhadap Harry Potter. Termasuk ada satu percakapan yang saya simak di suatu film, mungkin ini juga bentuk sang sutradara menunjukkan kecintaannya pada Harry Potter dalam film karyanya. Dia membuat suatu percakapan yang berisi, "Kemungkinan J.K Rowling sebenarnya adalah seorang penyihir betulan. Karena dia mampu membuat jutaan orang di dunia 'tersihir' sehingga tak bisa berhenti membacanya sampai akhir." Hmm... Mungkin memang ada benarnya ya.

Saya pun begitu. Tak henti-hentinya saya menujukkan apresiasi saya semenjak jatuh cinta yang tidak direncanakan itu. Saya selalu datang pertama sebelum toko buku dibuka saat peluncuran buku-buku selanjutnya dan datang di hari premiere filmnya sambil bergetar menahan tangis saking antusiasnya. Berlebihan? Mungkin. Dan ini satu-satunya hal yang bisa membuat saya seperti ini di luar hal yang berbau religius.


Siapa sangka, kecintaan saya pada Harry Potter seperti sekarang ini berawal dari keantipatian. Melihat euforia-nya yang luar biasa saat film pertama diluncurkan, justru malah membuat saya tidak tertarik. Apalagi saat kakak perempuan saya pertama kali membawa kepingan CD bajakan ber-subtitle bahasa melayu dan gambarnya yang gelap. Serius, ini membuat saya makin malas ikut menonton juga. Sekali lagi rumus cinta berlaku disini. Bahwa cinta dan benci itu bedanya begitu tipis.


Berita gembira sekaligus berita sedih saat pihak lembaga sensor perfilman Indonesia menyatakan Harry Potter and The Deathly Hallows part 2 telah lulus sensor dan akan tayang sebelum puasa, yang artinya seminggu kedepan ini.


Dan mungkin memang ini saatnya "semuanya berakhir". Harry Potter sendiri juga lelah dan ingin 'istirahat' setelah teror yang terus menghantuinya seumur hidup. Hidup bahagia selayaknya, di tangan para pembaca dan para penonton. Kini keputusan ada di tangan saya untuk mengikutinya sampai akhir. Tapi satu yang saya yakin, bahwa apresiasi dan kecintaan saya terhadap Harry Potter tidak ikut berakhir sampai kapanpun. Salut untuk Joanne K. Rowling.




Ironis

Author: Rizka Sonnia Haliman /

Alisku tertaut menahan sakit yang tak berfisik tapi mampu membuatku serasa mati tercekik. Ironis. Hanya kata itu yang mampu kuucapkan untuk semua yang terjadi.



Untuk semua kisah yang Tuhan tuliskan dalam linimasa hidupku. Untuk segala kekecewaan atas semua harap yang masih mengalir untukmu. Untuk segala penyesalanku yang terlanjur.


Untuk setiap inci pesakitan cintaku yang kurasa setiap waktu.




Ironis.




Yang butuh kulakukan hanya memotongnya, menghentikan rasa sakitnya saat ini juga. Tapi entah dengan apa.



Tolong, aku butuh obat penahan sakit.

Titik henti #4

Author: Rizka Sonnia Haliman /

Aku terdiam sendiri. Berjam-jam memandangi layar ponselku, tanpa ada satu pesan darimu yang datang. Dan inikah akhirnya...?


Ini selalu membuatku tertawa kecil. Melawan rasa yang menusuk di dada dan membuatku sejenak kehilangan nafas. Aku tahu ini bakal terjadi. Selalu tahu. Dan harusnya tetap ingat sampai beberapa menit tadi, tanpa harus membuat tanda tanya di belakang kalimat "inikah akhirnya".

Saat dimana isyarat "semua baik-baik saja" darimu adalah jawaban. Ya, isyarat yang berbeda. Semua baik-baik saja-mu berbeda dengan semua baik-baik saja milikku. Milikku yang berarti segala delusional kebersamaan kita, rasa sayang yang tetap di tempatnya meski tak lagi ada komitmen yang terbata terucap. Sementara milikmu adalah akhir dari segala rasa tanpa getaran.

Dan aku terhempas kembali di bumi realita, tersadar bahwa semuanya memang sudah tak ada. Pergi, hancur berpuing. Hanya tersisa tanah sepi di tempat seharusnya aku berada. Bukan dalam awang-awang cinta seperti dulu, membuai haru tersipu saat dawai gitar dan pita suaramu yang memanjakan seirama dengan detak jantungku ditambah kecupan sayang yang mendarat di pipi.


Ya. Semuanya disini sekarang. Aku sendiri. Tanpamu. Memang sudah seharusnya kan?

It occurred to me in the tranquility of last night
That gathering wilted petals won't make them alright
It never grew to a great size, though it was already dead to my eyes
Saying we finished a long time ago is too polite


Aku minta maaf karena aku terlalu sayang padamu....
Tidak ada yang salah dengan rasa sayang itu juga aku yang sayang padamu, jawabmu.


Dan jika kita masih bertahan dengan kondisi seperti ini, mungkin takkan ada masa depan. Terjebak dalam bayang semu, berusaha menahan laju waktu. Padahal seharusnya kita terus berjalan ke depan, dengan harapan Tuhan kan berbaik hati menaruh satu sama lain secara tiba-tiba dalam garis kehidupan untuk kembali saling mencintai lagi di masa mendatang. Juga memberi kesempatan untuk menimbuni hati yang terlanjur berlubang begitu dalam dengan rasa di keadaan yang baru. Denganmu atau sama sekali tanpamu.







Tapi aku tak mau menjadi teman. Jika memang ini akhirnya sebelum kembali bersua untuk bersama atau terpisah selamanya, berakhirlah. Biarkan waktu berjalan, tanpa harus lagi kita menoleh ke belakang.



Kucukupkan tentangmu malam ini. Dan tiada lagi lain hari.

Reunion #3

Author: Rizka Sonnia Haliman /

Setelah berhari-hari mengharu biru, aku sadar bahwa mungkin ini waktunya aku maju dan tak lagi menoleh pada jejak-jejak kita yang tertinggal. Bersabar menanti atau melangkah tanpa arti menuju takdir lain yang Tuhan persiapkan untuk kita. Kita takkan pernah tahu hari esok. Dan aku yang lelah, takkan mencoba menebak-nebaknya lagi. Hancur luluh lantak atau bahagia melayang di awan akan kurasakan saat itu juga, saat ada satu cerita yang menjadi kado dalam bentang hari.


Sama seperti minggu kemarin kan? Yang datang begitu saja tanpa tertebak?
Perjanjian bertemu setelah tujuh tahun lagi yang batal. Karena kenyataannya, aku bertandang di kost teman dan kamu sudah menungguku di ujung gang. Hahaha. And you'll see me waiting for you, on the corner of the street itu pun sungguh terjadi. Tapi kamu tahu, itu bukan pertemuan yang direncanakan. Begitu gerbang terbuka, aku sudah melihatmu terlebih dulu dan berbalik secepat yang kubisa sebelum kamu melihatku. Ponselku pun mendadak berbunyi, sebuah pesan darimu muncul di depan mata. Aku sudah di depan mobilmu, di ujung gang. Oh... Aku sudah tahu, keluhku dalam hati.
Tuhan mengabulkan permintaan kita untuk bertemu dengan ketidaksengajaan! Dan itu kabar baik.
Aku tidak sengaja keluar dari gerbang saat kamu baru saja disana, menungguku diatas motor dengan terhalang portal ujung jalan. Lalu aku tidak sengaja melihatmu lebih dulu sebelum kamu mengatakannya. Dan aku tidak tahu bahwa kamu akan disitu.


Memarahimu lewat telpon karena membatalkan janji tujuh tahun kita. Cukup keras untuk kamu bisa mendengar suaraku secara langsung melalui udara selain dari receiver. Tapi kamu tidak tahu kan, bahwa aku mengintipmu diam-diam dari balik tembok?


Tapi apa iya aku harus mencukupkan diri dengan melihatmu dari jauh? Tidak! Aku memutuskan untuk menemuimu! Jujur saja, aku tak mampu menahan diri melihatmu yang biasanya hanya kulihat dalam kenangan. Dan sekarang sosok itu, disitu. Nyata. Dan aku bisa mencapainya hanya dengan beberapa langkah dan akan kupercepat dengan berlari.


Kamu tahu, setiap pertemuan adalah momen. Indah dari hiasan gugup kita dan salah tingkahnya yang mewarnai. Kita takkan tahu apakah hari ini akan datang lagi esok atau ini yang terakhir. Jadi hari ini adalah selamanya. Kumanfaatkan sebaik-baik hari pertemuan kembali ini, agar tiada penyesalan di setelahnya. Rasakan seluruh rindu yang membuncah dari hangatnya tatapan, peluk dan kecupku yang sesungguhnya. Dan aku tak lagi peduli dengan puluhan pasang mata yang menatap penuh persepsi. Aku dan kau. Kita. Disini, sekarang.


Having you close to my heart as I say a little grace
I'm thankful for this moment cause
I know that I
Grow a day older and see how this sentimental fool can be

If everything has been written down, so why worry, we say
It's you and me with a little left of sanity...

Temukan aku, di tempat itu #1

Author: Rizka Sonnia Haliman /

Demi Tuhan, terlalu lama waktu 7 tahun itu. Tapi aku tak mau mengutuki waktu yang kutetapkan sendiri untuk kembali bertemu denganmu lagi. Karena memang butuh waktu yang lama kan untuk merekatkan hati yang hancur? Apalagi setelah kutemukan fakta kamu tidur dengan perempuan lain.



Tapi tahukah kamu aku luar biasa merindu? Kuabaikan sakit hatiku untuk merindu kembali sosokmu. Kucoba berdamai dengan diriku sendiri, dan kubiarkan cinta yang meraja diatas segala emosi.


Dan sebelum benar-benar berpisah kita saling meyakinkan, suatu saat kita pasti bertemu. Tentu, cinta mengalahkan segalanya. Aku masih ingin bertemu denganmu.


Tapi setelah ini tiada pertemuan yang disengaja. Tiada pertemuan yang sengaja kita rancang, untuk didatangi. Biarkan sekali lagi kita bertemu di ketidaksengajaan yang direncanakan Tuhan. Di dalam pertemuan takdir, seperti waktu pertama dulu.


Kau senior sepupuku di kampus kota tetangga yang berjarak dua jam dari rumah. Approve friend request Facebook-ku jam 3 subuh yang diluar dugaan langsung berjawab sapa darimu. Perkenalan macam apa yang dilakukan di dini hari yang hening dan bukan malam hari libur, juga dalam keadaan aku luar biasa capek karena datang dari luar kota? Tapi ada hal absurd yang menarikku untuk online dan bukannya memilih untuk tidur. Selanjutnya bertukar nomor ponsel, memperkenalkan hal pribadi seharian dengan keadaan kurang tidur lewat telepon dan 24 jam kemudian kita resmi in relationship. Lalu 3 hari kemudian kita bertemu untuk pertama kalinya di rumah sakit.


Ya. Rumah sakit. Tempat yang unik untuk bertemu, karena pagi itu kamu tak bisa menemuiku di rumah sedatangmu dari wisata ke Jogja karena aku ada janji dengan dokter untuk pemeriksaan lanjutan penyakitku.


Kita belajar saling mencintai sampai 1 tahun 3 bulan berikutnya, hingga aku melahirkan suatu faham aneh bahwa cinta yang dipelajari dari seluruh kekurangan dan kelebihanmu dari nol adalah suatu usaha besar yang mungkin akan membuat cinta ini permanen meski kita berpisah oleh hal yang luar biasa menyakitkan. Tak seperti cinta instan yang melalui proses jatuh cinta dan kasmaran seperti sebelum-sebelum ini, aku mencintaimu tanpa jatuh cinta karena aku tak pernah tak memilikimu. Kamu ada untukku, begitu saja.
Kalau semua bukan takdir, lalu apa?


Tapi jika memang Tuhan menakdirkan kita tak bertemu lagi dalam takdir, kita akan berjanji bertemu 7 tahun setelah perpisahan ini. 28 September 2016, jam 9 pagi. Di tempat yang sama dan waktu yang sama. Di poliklinik rumah sakit ini, seperti waktu itu.


Tapi kini aku tak mampu lagi tahan. Aku kembali, dan akan menunggumu. Mungkin tak seperti di lagu The Script - The Man Who Can't Be Moved, menunggu sambil berkemah di dalam sleeping bag di ujung jalan dan takkan berpindah lagi, tapi di setiap tanggal 28 di setiap bulan aku akan kembali kesana.


Meski aku tahu aku takkan menemukanmu disana di setiap tanggal itu atau bahkan tanggal yang ditentukan karena mungkin kamu sudah lupa.

"I know it makes no sense, what else can I do? How could I move on, when I feeling love with you?"


Tapi, tak ada salahnya kan aku berharap kamu disana atau hanya sekedar untuk mengingatmu seperti waktu itu? Yang muncul sambil tersenyum di pintu bagai matahari mungil dengan kaos oranyemu dan lebih bercahaya dari matahari jam 9 pagi di hari yang cerah?


"Cause if one day you wake up and find that you're missing me, and your heart starts to wonder where on this earth I could be... Thinking maybe you'll come back here to the place that we'd meet... And you'll see me waiting for you, on the corner of this street."



Dan jika kita bertemu lagi, kita akan berjalan bersama seperti ini, seperti di awal kan ya? :)

Salam sayang, Mawarmu

Author: Rizka Sonnia Haliman /

Lagi. Aku disini. Kembali di kota dingin yang hebuskan sejuta perih dari masa kecil hingga namamu yang terus kupanggil.

Kenapa setelah kisah yang dihentikan perpisahan malah aku sering dibuatNya kembali ke kota ini dengan berbagai urusan? Menghadapi segala kehilangan dan ironis-ironisnya segala cerita yang justru mati-matian kuhindari.



Mungkin Gema tidak pernah tahu seberapa gersang hati yang dulu pernah dia hujani dengan pelukkan. Seberapa kering nafas yang dulu pernah dia taklukkan dengan senyuman. Semua, sebenarnya jauh lebih kompleks dari sekedar kata sedih. Penjabaran yang lebih dari sekedar deskripsi. Tapi Gema, tidak pernah mau tahu.


Pernah aku membaca suatu kisah, yang membuatku teringat tentang kita.

****


The Little Prince

"Kemari, bermainlah denganku," kata pangeran kecil. "Aku sangat sedih."

"Aku tidak bisa bermain denganmu," kata rubah. "Aku belum dijinakkan."

"Ah! Maafkan aku," kata pangeran kecil. Tetapi setelah berpikir beberapa saat, dia menambahkan: "Apa artinya itu
'menjinakkan'?"

"Itu adalah tindakan yang sering diabaikan," kata rubah, "Menjinakkan artinya menjalin ikatan."

"Menjalin ikatan?"

"Begitulah," kata rubah. "Bagiku, kamu saat ini tidak lebih dari seorang bocah kecil yang sama saja dengan ribuan bocah kecil lainnya. Aku tidak membutuhkanmu. Kamu sendiri tidak membutuhkan aku. Bagimu, aku tidak lebih dari seekor rubah seperti ratusan ribu rubah lainnya. Tapi jika kamu menjinakkan aku, kita akan saling membutuhkan. Bagiku, kamu akan menjadi satu-satunya di dunia. Bagimu, aku akan menjadi satu-satunya di dunia..."

"Hidupku sangat membosankan," kata rubah. "Aku berburu ayam; manusia memburuku. Semua ayam sama saja, dan semua manusia asma saja. Dan, akibatnya, aku jadi agak bosan. Tapi jika kamu menjinakkan aku, akan terasa seolah matahari menyinari hidupku. Aku akan mengenali suara langkah yang terdengar berbeda dari semua langkah lain. Langkah-langkah lain akan mendorongku bergegas kembali ke bawah tanah. Tapi langkahmu akan memanggilku, seperti musik, keluar dari persembunyianku. Dan coba lihat: Kamu lihat ladang gandum jauh di sana? Aku tidak makan roti. Gandum tidak ada manfaatnya bagiku. Ladang gandung tidak punya arti apa-apa bagiku. Dan itu menyedihkan. Tapi rambutmu berwarna emas. Pikirkan betapa indah jadinya nanti jika kamu telah menjinakkan aku! Butir-butir gandum, yang juga berwarna keemasan, akan membuatku ingat kepadamu. Dan aku akan senang sekali mendengarkan suara angin yang meniup butir-butir gandum ..."

Lama, rubah itu menatap sang pangeran kecil.
"Tolong
jinakkan aku!" katanya.

"Aku ingin, ingin sekali," sahut pangeran kecil. "Tapi aku tidak punya banyak waktu. Ada banyak teman yang harus kucari, dan banyak hal yang harus kumengerti."

"Orang hanya bisa mengerti hal-hal yang dijinakkannya," kata rubah. "Manusia tidak punya waktu lagi untuk mengerti apa pun. Mereka membeli barang yang telah tersedia di toko. Tapi di mana-mana tidak ada toko yang menjual persahabatan, dan karenanya manusia tidak punya teman lagi. Jika kamu ingin punya teman, jinakkan aku... "

"Apa yang harus kulakukan, untuk menjinakkan kamu?" tanya pangeran kecil.

"Kamu harus sabar sekali," sahut rubah. "Pertama-tama kamu duduk agak jauh darikuseperti itudi atas rumput. Aku akan memandangmu dari sudut mataku, dan kamu tidak boleh bilang apa-apa. Kata-kata adalah sumber kesalahpahaman. Tapi kamu akan duduk lebih dekat denganku setiap hari..."

Maka pangeran kecil menjinakkan rubah. Dan ketika waktu perpisahan mereka hampir tiba
"Ah," kata rubah, "Aku akan menangis."

"Itu salahmu sendiri," kata pangeran kecil. "Aku tidak pernah berkeinginan mencelakaimu sama sekali; tapi kamu ingin aku menjinakkan kamu ... "

"Ya, memang begitu," kata rubah.

"Tapi sekarang kamu akan menangis!" kata pangeran kecil.

"Ya memang begitu," kata rubah.

"Jadi itu tidak mendatangkan kebaikan bagimu sama sekali."

"Itu baik untukku," kata rubah, "karena warna ladang gandum itu."
Lalu dia menambahkan:
"Pergi dan lihatlah lagi bunga-bunga mawar itu. Kamu akan mengerti sekarang bahwa bungamu adalah satu-satunya di seluruh dunia. Lalu kembalilah dan ucapkan selamat tinggal padaku, dan aku akan memberimu hadiah berupa sebuah rahasia."

Pangeran kecil pergi, untuk melihat kembali bunga-bunga mawarnya.

"Kamu sama sekali tidak seperti bunga mawar milikku," katanya pada bunga-bunga. "Jadi kamu tidak ada artinya. Tidak ada yang menjinakkan kamu, dan kamu tidak menjinakkan siapa-siapa. Kamu seperti rubahku ketika pertama kali aku mengenalnya. Dia hanya seekor rubah seperti seratus ribu rubah lainnya. Tapi aku telah menjadikannya temanku, dan kini dia menjadi satu-satunya di seluruh dunia."

Dan mawar-mawar itu sangat malu.

"Kamu cantik, tapi hampa," lanjutnya. "Tidak ada yang bersedia mati demi kamu. Tentu, orang yang lewat akan mengira bahwa bunga mawarku tampak persis seperti kamumawar yang kumiliki. Tapi hanya dialah yang lebih penting daripada ratusan ribu mawar lain: sebab dialah yang kulindungi di balik tabir; karena demi dialah aku membunuh beberapa ulat (kecuali dua atau tiga di antara mereka yang kami selamatkan agar menjadi kupu-kupu); karena dialah aku mau mendengarkan, ketika dia mengomel, atau membual, atau bahkan kadang-kadang ketika dia tidak bilang apa-apa. Karena dia adalah mawarku."

Dan dia kembali untuk menemui rubah.
"Selamat tinggal," katanya.

"Selamat jalan," kata rubah. "Dan sekarang inilah rahasiaku, rahasia yang sangat sederhana: Hanya dengan hatilah orang bisa melihat dengan benar; hal apa yang terpenting itu tidak dapat dilihat dengan mata."

"Apakah yang terpenting yang tidak dapat dilihat dengan mata?" ulang pangeran kecil supaya dia yakin akan bisa mengingatkannya.

"Waktu yang telah kamu habiskan untuk mawarmu itulah yang membuat mawarmu begitu penting."

"Waktu yang telah aku habiskan untuk mawarku" kata pangeran kecil, supaya dia yakin akan bisa mengingatnya.

"Manusia telah melupakan kebenaran ini," kata rubah. "Tapi kamu tidak boleh melupakannya. Kamu bertanggung jawab, selamanya, terhadap apa yang telah kamu jinakkan. Kamu bertanggung jawab terhadap mawarmu..."


******


"...tapi hanya dialah yang lebih penting daripada ratusan ribu mawar lain: sebab dialah yang kulindungi di balik tabir; karena demi dialah aku membunuh beberapa ulat (kecuali dua atau tiga di antara mereka yang kami selamatkan agar menjadi kupu-kupu)..."
Kau, Gema. Kau satu yang kutemukan, sesiapa yang ditarik semesta untukku diantara jutaan warna.
Kau yang segenap tenaga kujaga, agar kau disana tak terluka barang sedikit saja apalagi sengaja.



"..karena dialah aku mau mendengarkan, ketika dia mengomel, atau membual, atau bahkan kadang-kadang ketika dia tidak bilang apa-apa. Karena dia adalah mawarku..."
Waktu, Gema. Waktu dan rasa syukur yang membuatku mencinta kamu, dari segenap indah juga perihmu.



"..waktu yang telah kamu habiskan untuk mawarmu itulah yang membuat mawarmu begitu penting.."
Waktu kebersamaan yang menurutmu tak ada artinya, waktu yang menurutmu belum cukup lama untuk saling mengenal, tapi cukup untuk meyakinkan aku bahwa sayang itu kau.



"...dan sekarang inilah rahasiaku, rahasia yang sangat sederhana: Hanya dengan hatilah orang bisa melihat dengan benar; hal apa yang terpenting itu tidak dapat dilihat dengan mata..."
Rabalah hatimu, Gema. Kurelakan ia jika menjawab sayang dan cintamu itu bukan aku. Tapi sedikit saja. Akui aku, sadari hadirku. Bahwa pernah ada disini yang mencintamu dengan segenap sendu.



....yang belajar dengan seluruh haru tentang jalannya waktu yang menyeret kita satu....






...salam sayang dariku, pangeranku... mawarmu yang telah kau jinakkan...




"...kamu bertanggung jawab, selamanya, terhadap apa yang telah kamu jinakkan. Kamu bertanggung jawab terhadap mawarmu..."

Little Prince