Endless Devotion Words of Affection, Romance and Deflagration

Author: Rizka Sonnia Haliman /

Ini semua tentangmu. Tentangmu, yang eksistensinya yang begitu membakar bagai bintang jatuh. Semoga pijarnya tak sekadar terang, lalu menghilang.

Pertemuan yang membuatku kembali yakin bahwa jatuh cinta itu memang tak bisa pada sembarang orang, bahwa pertemuan adalah bagian campur tangan Tuhan yang semua tanya tentangnya tak mampu terjawab juga terelakkan. Mengapa? Mengapa dari sekian banyak harus kamu? Seberapa besar kemungkinan kita bertemu? Mengapa cuma kamu yang mampu memecah kebekuan biru itu?


"Magically you," kataku. Mungkin cuma itu kata-kata yang cocok. Untukmu yang muncul dalam wujud sempurna yang kumohonkan sepanjang waktu pada Tuhan. Untukmu yang mewujudkan tiap detail mimpi delusi yang hanya berani kupikirkan, tanpa berani menuntutnya untuk terjadi. Untukmu yang dekapnya mampu membuatku merasa kembali ke 'rumah'. Untukmu yang seluruh lemah lembutnya membelai, saat dunia dalam sedikit sentuhnya saja menyakiti...


Karena denganmu, impian yang dituangkan dalam bentuk cerpen itu tak lagi fiksi. Dihiasnya semua menjadi serangkai cerita mirip dongeng. Resort terpencil di atas bukit, beranda, bukan kopi; melainkan Yuzu Tea, ciummu di bawah ribuan gugusan bintang yang bersinar menghias langit dengan minim light polution, serta bintang jatuh yang terpetik lewat harap kita beberapa menit lalu. Dengan semua keajaibannya, tidakkah Semesta begitu menyayangi kita berdua, wahai Sayangku?

Bila pada nantinya semua perih dan kegagalan yang meluluhlantakkan sendi-sendi hidup, setidaknya kita punya satu sama lain, bukan?



Lalu pada akhirnya, hanya satu. Hanya kamu yang aku perlu. E, I love you.


"...If your intensions are pure, I'm seeking a friend, for the end, of the world..."

Mungkin

Author: Rizka Sonnia Haliman /

"Aku tak mau membuatmu hancur."

Satu-satunya kalimat yang menurutku paling tulus meluncur dari mulutmu hari itu. Tanpa defense-offense dan pride yang tidak perlu, yang membuat malam manis itu jadi kelabu.

Aku tersenyum kecut, "Terlanjur."

"Ya aku tak mau membuatmu lebih hancur, kalau begitu."

Lalu kemudian kamu pergi. Dan hanya kalimat-kalimat itu; dalam suara rendah dan dalammu yang aku ingat. Ingatan yang aku putar berulang-ulang saat aku bertanya kenapa harus kamu yang kujatuhi hati sedalam ini setelah sekian lama dan kenapa kamu harus pergi. Mungkin kamu hanya ingin aku dan kamu tak terlibat terlalu jauh pada cinta yang tidak mungkin. Mungkin kamu berpikir aku tak cukup baik, tak cukup menyenangkan untuk sekedar mendapatkan pertemuan kedua apalagi lebih. Mungkin aku. Mungkin kamu. Mungkin mungkin mungkin.


Untukmu M.E.J, yang datang sekejap lalu menghilang bagai bintang jatuh. Kamu yang menyisakan kekaguman, dengan segudang kemungkinan.

Kamu pergi sebelum aku sempat memintamu bercerita lebih tentangmu yang sebenarnya. Bukannya sekedar lawak receh tanpa mengenal satu sama lain.


Jadi bila kamu bertanya tentang alasan mencinta... Cinta bisa datang tanpa alasan yang jelas, kamu tahu.

Mungkin kamu lupa soal cinta-cinta muda yang murni dan tak memperdulikan kasta, harta maupun strata.

Mungkin kamu berpikir bahwa cinta harus bergandengan dengan kemungkinan yang masuk di akal. Tapi percayalah, hati dan otak memang dirancang tidak bekerja beriringan.

Mungkin benar kata orang-orang; saat kita tumbuh dewasa dan menua, lalu mendapati cinta itu hanya sekadar ketertarikan pada aspek sementara yang mudah hilang. Bukannya hal yang diagung-agungkan "tak lekang masa".

Atau juga mungkin benar mengenai cara wanita yang mencintai dari 0 sampai 100, sementara lelaki mencinta dari 100 sampai 0. Mungkin mungkin mungkin.Hasil gambar untuk rain drops


Tapi yang kamu tak pernah tahu, mungkin cinta itu datang semudah sosok manismu yang di atas ATV tiba-tiba muncul di layar hpku.

Mungkin cinta itu sekedar karena namamu (ya, aku selalu suka namamu bahkan sebelum bertemu denganmu!).

Mungkin karena lawakan garingmu yang sebenarnya jauh dari lucu datang di saat yang ntah salah, ntah tepat; saat tak satupun aspek hidup mampu membuatku tersenyum apalagi tertawa. Tapi memang kita tak pernah tahu seberapa besar peran kita di kehidupan orang lain, bukan?

Mungkin karena kamu pernah membuatku merasa diinginkan, saat kebencian-kebencian rasanya terlalu banyak membakar di sekitar.

Mungkin karena kamu membantuku menemukan alasan jangka pendek untuk menyelesaikan semua yang terbengkalai; sekedar agar aku bisa secepatnya bertemu denganmu.





Untuk semua yang dielakkan, pada cinta mungkin kita harus menerima. Bahwa kita bukan manusia super yang mampu melawan gravitasi; melawan kata hati. Jangan menyangkalku. Datanglah, biar kita lebur segala asumsi-asumsi.