Labyrinth

Author: Rizka Sonnia Haliman /

Berbulan-bulan aku aman dari masalah. Bergelung manja dalam selimut di istanaku berukuran 4 x 4.5 meter, bersembunyi dari dunia yang seharusnya ditantang. Meminimalisasi gesekan model apapun yang ada pada peradaban luar termasuk segala kontak pada orang sekitar. Berbicara seperlunya, bersosialisasi jika ada butuhnya. Sekenanya saja.


Aku menikmati hidupku yang tanpa masalah. Melepas semuanya dengan cara melemparkannya di sudut ruangan lalu berhenti untuk mau tahu. Aku menjalani semua yang seharusnya berjalan, tanpa ada yang tak semestinya. Tapi mungkin, justru itu masalahnya.

Masalahnya adalah: semua tanpa masalah. Cukup membosankan saat ini terjadi. Setelah klimaks cerita yang melelahkan, aku beristirahat tapi kemungkinan terlalu lama sampai tak tahu bagaimana harus keluar. Pernah sesekali mencoba membuat konflik sendiri, tapi yang terjadi malah diluar kontrol. Ketakutan, kulemparkan semua lagi tanpa mau tahu dan aku memutuskan untuk tidak lagi bermain api. Menolak bertanggung jawab.

Terus-terusan menetap dalam zona aman, membuatku rapuh. Berkeping, pucat dan goncang begitu terkena hantaman. Meski sebelum aku bersembunyi kondisiku sudah retak. Retak yang rawan, seperti vas yang pernah pecah berhamburan lalu kurekatkan secara asal-asalan.

Atau seperti mawar? Kemarau atau tak tentunya hujan membuat kelopaknya hilang kekuatan. Tersentuh, lalu menjadi kepingan.



Mungkin memang ini hidup, masalahnya berputar tanpa akhir. Berbahagialah yang menurutnya "life is never flat". Rasakan getaran gelombangnya, mengombak dari atas ke bawah lalu ke atas lagi.