Diam, dan Menanti

Author: Rizka Sonnia Haliman /


Barusan saya disodori artikel #HalauGalau yang ditulis oleh mbak Kika, salah satu penulis hebat yang kebetulan saya kenal.
Masalah soal jodoh. Sejujurnya untuk saat ini sebaiknya saya menghindari membaca yang seperti itu dengan kondisi hati yang sedang rapuh-rapuhnya.

Tapi, lagi-lagi nekat.

Sebenarnya membaca seperti ini tidak terlalu mengembangkan pikiran, tapi memang itu sudah ada di dalam hati. Mengendap, menunggu diidentifikasi.

Mr (Not So) Right. Mungkin memang begitu adanya di dunia ini. Tak ada yang sempurna di dunia ini. Seperti kata penasehat saya kemarin, Mr Purba bilang bahwa yang kamu mau tidak tersedia di bumi ini. Tapi kita yang bentuk perlahan, dengan kasih sayang. Saling menyempurnakan.

Lupakan optimisme cinta. Itu hanya buat saya semakin sedih.

Ada yang pernah dengar lagu milik Dewi Lestari yang judulnya Curhat Buat Sahabat? Isinya tentang lelahnya pencarian cinta. 5 tahun dibutuhkan untuk menyerah mengharap pada yang salah. Akhirnya dia memilih untuk diam, duduk di tempatnya menanti seorang yang biasa saja.
Dia ingat saat dia sakit flu kemarin, saking parahnya sampai tak bisa beranjak dari tempat tidur. Tak ada siapa-siapa, obat flu pun habis. Akhirnya harapannya hanya satu, ada orang yang membawakannya air hangat untuk membantunya minum obat. Yang sudi menggenggam tangannya, berkata bahwa dia tak sendirian. Akhirnya, hanya itu yang dia inginkan.
Sesederhana itu.

Setelah saya sakit tipes kemarin, mungkin harapan saya sama seperti lagu itu. Nggak mau muluk-muluk. Tak usah orang yang mengantar saya ke dokter, karena saya harus pergi ke dokter sendirian meski miris rasanya hati ini. Tak apa lah, selama saya masih mampu.
Akhirnya yang saya harapkan hanya satu, seseorang yang sudi menanyakan apa saya tak apa-apa menyetir sendirian di tengah badai, di tengah tipes saya yang membuat saya tidak konsen dan lemas tudemeks juga kedinginan. Karena kota saya lagi sering diterpa badai akhir-akhir ini, sehingga menyetir dalam kota saja jarak pandang pun terbatas. 

Itu harapan saya. Sesederhana itu saja sih. Tapi berhubung tipes saya sudah membaik, harapan saya sekedar jangan sampai tipes lagi. Jadi tak perlu ada harapan tentang lelaki yang sudi menanyakan apa saya baik-baik saja menyetir dalam badai. Cukup. Itu menyakitkan.
Rasanya semua sudah pernah saya rasakan. 

Biarkan aku diam, duduk di tempatku menanti seorang yang biasa saja. Yang memang mencari teduhnya dalam mataku.