Gema, Sekelumit Galau dari Waktu yang Terlampau

Author: Rizka Sonnia Haliman /

Bukan hal yang mudah untuk bercerita tentang Gema. Sedikit, apalagi banyak. Mengingat Gema, merasakan kembali yang sudah berlalu, menata kata dan urutannya untuk bercerita... Membuatku berpikir keras. Lelah. Terlalu berat untuk otakku bekerja. Dan ini seketika membuatku mengantuk. I'm a narcoleptic. Apa itu? Kau bisa bertanya pada om Google, jadi dia akan mencarikan dari koleksi mbak Wikipedia.


Namun kali ini akan kucoba menulis tentangnya, meski besarnya hasrat ingin menuliskannya berbanding terbalik dengan kekuatanku untuk tetap terjaga.


**********************

Ok, Gema. Dia sebenarnya seorang lelaki yang membantuku melukisi sebait kisah hidup yang bertema cinta kemarin. Atau mungkin bisa lebih dari sekedar tema cinta. Sekedar catatan, Gema bukanlah nama yang sebenarnya. Entah kenapa juga aku memilih nama itu untuk menyamarkan nama aslinya. Nama itu muncul begitu saja di benakku, yang jelas nama itu bukan nama yang biasa untukku. Mungkin karena sosoknya lah yang terus menjadi gaung di dalam otakku. Rasanya cukup cocok menyamarkan nama aslinya yang juga tak biasa, perpaduan dari kata salju dalam bahasa asia dan bunga yang mekar hanya setahun sekali. Mungkin karena itulah sosok Gema adalah sosok yang dingin dan moody abis.

Tapi post kali ini hanya demi menyalurkan kegalauan yang penuhi pikiran disaat lagu-lagu cinta mengalun di radio pas Valentine kemarin dan kebetulan sedang nyetir sendirian. Aku bohong kalau sepanjang waktu nggak memikirkan Gema. Sudah 4,5 bulan sejak hubungan kita berakhir dan 3,5 bulan sejak aku memutuskan untuk lebih baik tak ada kontak. Karena toh dirinya juga bilang "sekarang sudah nggak bisa sering-sering" saat aku sesekali mencoba say hi dengan mengirimkannya pesan singkat.
Itu cukup jadi sinyal bahwa dia nggak mau aku ganggu lagi.
It's fine. Kita memang harus move on. Terutama aku.

Terlepas dari siapa yang salah, kita pisah karena dia melakukan sesuatu yang aku benci dan itu sangat membuatku tersakiti. Tapi aku lelah memikirkan siapa yang salah lalu siapa yang benar. Siapa yang harus disalahkan. Siapa yang harus bertanggung jawab atas semua. Dan siapa yang harus menanggung rasa sakitnya. Perpisahan, siapapun itu, kedua belah pihak pasti merasa sedih karena kebersamaan yang terbiasa. Nggak hanya salah satu yang akan sedih dengan begitu egoisnya.

Tak apa. Perpisahan ini hanya simbol bersama kita yang menapak dewasa, menepati diri pada konsekuensi.

Dan disini aku mencoba memper-simple keadaan. Mengubah pola pikirku. Mencoba lebih rasional. Kesalahan itu terjadi, karena kita masih sama-sama muda. Masih susah membedakan mana hasrat-hasrat aman atau malah fatal untuk dilakukan. Tapi apapun itu, khilaf yang Gema lakukan, aku nggak pernah habis pikir bagaimana bisa dia melupakan aku dalam beberapa waktu sampai akhirnya hal itu terjadi. Dia mungkin sekedar kesepian, atau entah apa samapi membuatnya hilang kontrol yang begitu diluar batas. Sementara aku disini, andai detik yang berjalan bisa dibagi menjadi beberapa bagian yang lebih tipis, berkubik-kubik darah yang terpompa ke jantungku, nafas yang kuhirup semua tidak ada yang luput dari sosok Gema.

Memaafkan? Aku nggak pernah tahu apa itu memaafkan. Bagaimana aku memaafkan jika aku selalu ingat? Aku hanya berusaha... Ah sudahlah! Yang terjadi, biarlah terjadi. Mau apa lagi? Semua orang pasti bisa salah. Kita manusia. Gema juga manusia kan? Aku nggak pernah jadi Gema, dan aku nggak pernah tahu kenapa itu harus terjadi. Jadi aku nggak punya hak menghakiminya. Hanya saja... Ini semua membuatku begitu gagal. Gagal menjaganya, gagal membuatnya jatuh cinta padaku, gagal membuatnya tidak melupakanku sepanjang waktu.

Dan kejadian ini nggak memungkinkan untuk kita terus tetap jadi satu. Dan kalau kita memaksakan untuk tetap bersama, hanya ada amarah dan sakit hati. Kami yang terluka, nggak mungkin berpura seakan semua baik-baik saja. Aku nggak bisa membiarkan salah satu harus terus disudutkan sementara yang lain menyudutkan. Ini nggak bakal adil, buat siapapun.

Aku pernah dengar istilah 'luka di hati yang bisa menyembuhkan hanya orang yang membuat luka tersebut'. Dan aku semakin yakin itu nggak benar. Menahan dia pergi, memaksa dia menyembuhkan luka kita dan semacam, "Hey! Aku terluka! Dan ini gara-gara kamu! Kamu harus tanggung jawab!" that's not a good deal. Melihat orang yang kita sayang terluka, itu menyakitkan. Apalagi terluka gara-gara kita. Serius, sebenarnya rasa sakitnya dua kali lipat dari sakitnya tersakiti. Dan hal semacam ini hanya bakal jadi seperti gaung yang terus terpantul tanpa ada habisnya selaras dengan rasa sakit yang terus bertambah diantara kami berdua.

Dan aku tahu, luka itu nggak akan pernah sembuh dengan Gema terus ada disampingku. Hanya waktu dan kesendirian yang akan menyembuhkannya. Lara itu akan tersamar seiring berjalannya masa sampai akhirnya tak lagi terbaca. Mungkin juga karena ini, aku belum bertemu kekasih baru. Meski aku ingin. Tuhan tahu, aku ingin namun belum butuh. Dan aku, lebih butuh waktu untuk sendiri sekarang.

Gema. Bukan berarti aku tak ingin bertemu dengannya lagi. Tapi bukan sekarang. Sementara ini aku ingin meletakkan eksistensinya diantara mimpi dan nyata, karena mati rasa. Jauh lebih mudah untuk sembuh dengan menganggapnya mimpi belaka sementara ini. Foto-foto dirinya masih tertumpuk di tempat yang sama, tak lagi ku jamah. Sesekali memang foto itu muncul di depan mata, tapi anehnya ingatan dirinya jadi semacam dejavu. Untuk beberapa saat yang muncul di kepalaku hanya "Siapa dia...? Sepertinya pernah kenal..." Padahal dia satu-satunya pria yang pernah menjadi senyawa dalam diriku.

Gema. Bohong aku jika kubilang aku tak rindu. Tapi... Aku. Masa lalumu. Aku takkan menyentuhmu lebih dulu, karena aku tak suka masa lalumu kembali merayumu. Seperti dulu. Saat kau masih bersamaku. Camkan itu!
Ya... Aku berjanji takkan menyentuhnya lebih dulu, apapun itu. Aku terbiasa tersiksa sampai hampir mati karena rinduku sendiri, meski saat bersamanya dulu. Aku juga terbiasa dengan tanpa kata rindu darinya sejak dulu. Aku terbiasa tanpamu, bahkan sejak bersamamu.


....ah ya, semacam aku menulis tentang cinta yang bertepuk sebelah tangan.....



.....tapi mungkin memang benar adanya......



Dan sebelum benar-benar berpisah kami saling meyakinkan, suatu saat kami pasti bertemu. Tiada pertemuan yang disengaja. Namun biarkan sekali lagi kami bertemu di ketidaksengajaan yang direncanakan Tuhan. Di dalam pertemuan takdir seperti waktu pertama dulu.

Aku percaya, jika dua orang ingin bertemu, takdir akan mempertemukannya kembali. Di suatu hari.

Tapi jika sampai 7 tahun (atau mungkin 6 tahun karena sudah melewati tahun baru) dari tahun dimana kami berpisah dan kami tetap tidak pernah bertemu dalam takdir, kami berjanji akan kembali di tempat dan tanggal dimana pertama kali bertemu. Di Rumah Sakit St. Vincentius A Paulo Surabaya, tanggal 28 September 2017.

Dan selama 7 tahun itulah mungkin waktu yang cukup untuk berpikir, apa janjian model itu cukup masuk akal dan tidak konyol untuk dilakukan. Dan berpikir, apakah kita perlu bertemu lagi. Tapi untukku, yang namanya janji tetaplah janji. Ntah mungkin waktu itu dalam keadaan seperti apa aku. Cincin sudah tersemat di jari manis tangan kananku, datang dengan menggendong bayi, atau bahkan tetap seperti sekarang yang jomblo ngenes... Tapi aku pastikan aku akan datang. Jika memang Tuhan masih berikan aku sisa umur untuk tepati janji.


....dan mungkin itu adalah waktu yang tepat untuk penebusan, hari dimana mungkin aku kan mengerti apa itu arti memaafkan.... memaafkan aku sendiri, atas apa yang aku rasakan juga semua kegagalan untuk menjaganya.... merelakan apa yang ada....



.....jika memang.... dia datang......










....And you'll see me waiting for you on the corner of the street....


Photobucket

2 comments:

Ervyn said...

Riz... Aku pernah janji bikinin template buat km kan? Hehe...

http://ervyn.ilmugrafis.org/wp-content/uploads/2011/02/GothEnough-Ervyn.zip

Download >> Extract >> Install ke blogger... Tar kl g bisa, tanya aja.

Ervyn said...

Wah salah File... :)) ini yg bener

http://ervyn.ilmugrafis.org/wp-content/uploads/2011/02/GothEnough-Ervyn.zip

Hehehe....

Post a Comment